Mahasiswa, Politik, dan Demokrasi Kampus

Mahasiswa, Politik, dan Demokrasi Kampus

Bukan lagi sesuatu yang dapat dibantah, politik telah akrab bergandeng mesra dengan kehidupan kita, menyelinap dalam ruang gerak sadar manusia. Bahkan, dalam urusan paling sederhana sekalipun, politik juga tampil menghiasi. Namun, hubungannya dengan manusia kadang menjadi simbiosis mutualisme, menguntungkan, namun tak jarang eksistensinya juga menjadi simbiosis parasitisme, menyengsarakan pada satu pihak.

Ini hal yang wajar, ruang politik memang membuka dua pintu berbeda yang kita sebut dengan dualisme. Seperti yang saya sebutkan di atas, dalam organisasi kecil pun, politik kerap tampil sebagai miniatur realitas perpolitikan di lembaga negara yang kita kenal dengan teori trias politica: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Organisasi yang saya maksud misalkan seperti organisasi yang ada di kampus, Organisasi Mahasiswa (Ormawa).

Mulai dari Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) fakuktas, Sampai pada yang tertinggi, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut. Organisasi-organisasi tersebut sering menjadi media bertenggernya miniatur politik yang sering kita lihat di televisi, koran, dan lainnya.

Kekonyolan-kekonyolan yang terjadi bisa kita tangkap, bahkan sangat jelas terlihat. Mirip dengan bagaimana roda kekuasaan sesungguhnya berputar. Hal itu lazim kita saksikan sendiri, mulai dari doktrin halus, money politic (politik yang berasaskan pada uang), klasifikasi organisasi ekstra, sampai pada yang lebih miris, terpecahnya pertemanan sebab perbedaan pandangan dalam memilih calon kandidat. Ini kontras terjadi ketika demokrasi kampus sampai pada masanya, atau yang kita kenal dengan pemilihan umum mahasiswa.

Cebong kampret memang tidak ada dalam istilah kampus, namun, mereka dan kita memiliki cara sendiri untuk membuat sub-sub dalam keragaman seperti itu. Kekuasaan-kekuasaan, meski dalam ruang lingkup yang kecil, rupanya juga sukses membuat mahasiswa, khususnya calon kandidat, tergiur untuk melakukan-melakukan perbuatan yang secara substansi menyalahi visi-misi kampus ataupun kode etiknya. Ya, meskipun tujuannya untuk melatih diri dalam menggapai kursi kekuasaan, tapi, bukan berarti pelanggaran-pelanggaran dalam kode etik demokrasi juga kita praktikkan sebagai latihan. Kesadaran juga diperlukan!

Namun, kita ambil hikmahnya saja, dengan adanya politik atau demokrasi kampus membuat kita menemukan wadah untuk Training sebelum terjun pada dunia yang sesungguhnya, sekaligus sebagai pembelajaran agar bisa menyeimbangkan diri ketika disuguhkan dengan realitas yang sebenarnya

Mahasiswa Juga Punya Kepentingan

Layaknya penguasa yang sudah ajeg dalam lakonnya sebagau wakil rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) contohnya, Wakil Mahasiswa juga memiliki kepentingannya sendiri.

Tujuan paling klise yang biasa terlontar dari mulut mereka adalah untuk mengabdi pada kampus dan mahasiswa yang lain dengan visi-misinya yang tersiar pada pamflet-pamflet pra-pemilihan. Terlepas dari sinkron atau tidaknya visi-misi itu dengan aktualisasinya nanti, setidaknya, yang perlu kita apresiasi adalah penyusunan diksinya dalam merangkul voting, sebab itu adalah seni.

Sebenarnya, selain kepentingan mengabdi, kepentingan-kepentingan yang lain juga beragam, mulai dari kepentingan bersama, kelompok, sampai kepentingan individualistik. Kepentingan individualistik? Ya, bukan tidak mungkin mereka tidak memiliki kepentingan personal, kepentingan yang hanya mementingkan persoalan pribadi ketimbang kepentingan bersama. Meskipun, kepentingan individualistik wakil mahasiswa dengan wakil rakyat cenderung berbeda.

Jika perwakilan rakyat kepentingan personalnya lebih berorientasi pada keuasaan, uang, dan saham, maka, perwakilan mahasiswa cenderung menginginkan ketenaran, menonjolkan eksistensi. Tentu, saya tidak mengatakan semuanya, hanya sebagian saja. Jika saya boleh curiga, hanya 1% saja mahasiswa mencalonkan diri dengan niat mengabdi, selebihnya pulang pada kepentingan personalnya masing-masing.

Ketenaran dan eksistensi memang hal yang manis dalam kehidupan mahasiswa. Banyak cara yang bisa dilakukan, mulai dari prestasi akademik (misal:IPK) dan non-akademik (seperti organisasi, salah satunya). Mari kita pikirkan, siapa sih yang tidak kenal dengan presiden mahasiswa? Mayoritas mahasiswa dan dosen pasti sudah tidak asing lagi dengan namanya. Semua mata tertuju padanya, lebih-lebih tampan atau cantik. Banyak juga yang mendekatinya, meski banyak juga yang mungkin dengki atau iri padanya, itu sudah konsekuensi. Namun sangat manis, bukan?

Nah, hal-hal seperti inilah yang kemudian membuat organisasi menjadi pincang sebab keadaannya menjadi penyakit luar biasa jika kepentingan personal dalam organisasi masih dituhankan. Hal-hal terkait organisasi pun akan terkontaminasi, cepat atau lambat. Bahkan, tak sedikit kita menemukan mereka yang sebenarnya tidak berkompeten dalam leadership namun tetap mencalonkan diri sebab kepentingan-kepentingan tersebut. Jika hal ini terjadi, siapa yang akan disalahkan?

Jadi, benang merahnya adalah, sebagai miniatur realitas sosial-politik di kehidupan nyata, perlu bagi kita sebagai mahasiswa menjadikan demokrasi kampus berikut politiknya sebagai ajang training (pelatihan). Selain itu, sebagai evaluasi terhadap sistem demokrasi yang perlu dibenahi. Hapus stigma masyarakat mengenai busuknya, bukan malah meniru dan semakin memperkeruh. Kita mahasiswa adalah generasi penerus untuk memperbaiki segala aspek kehidupan, jadi gunakan kodrat itu sebagai acuan.

Wallahu a’lam

Penulis: Aqil

Leave a Comment

%d bloggers like this: